Rame-rame sekolah ke Finlandia?
Manusia kreatif semestinya terlahir dari sekolah. Mengapa demikian? Sebagian besar waktu belajar anak, dari tingkatan terendah, PAUD hingga perguruan tinggi dihabiskan disana. Kreatifitas adalah keberanian. Kreatifitas adalah seni penemuan. Menemukan sesuatu yang baru, berbeda, dan tidak takut untuk berbeda. Keluar dari patron kebiasaan, cara berpikir, melakukan sesuatu pun dalam pengambilan keputusan. Dari situ awal kreatifitas dimunculkan.
Sekolah berperan penting dan sudah seharusnya demikian. Berperan untuk menfasilitasi, memberi ruang, juga untuk memotivasi tumbuh kembangnya potensi untuk kreatif. Para siswa kodratnya dibekali dengan kecerdasan yang berbeda. Menurut Gardner (1983), hal ini dimungkinkan, asalkan pendidikan dan pembelajaran dapat diorganisasikan oleh Guru secara membumi, untuk memenuhi kebutuhan anak didik berdasarkan peta abilitasnya. Gardner sendiri memetakan abilitas manusia (human abilities) dalam tujuh kategori. Kategori komprehensif yang disebut dengan Multiple Intelligence berupa : Linguistic Intelligence, Logical Mathematical Intelligence, Spacial Intelligence, Bodily Kinesthetic Intelligence, Musical Intelligence, Interpersonal Intelligence dan Intrapersonal Intelligence.
Apakah bisa sekolah yang ada saat ini menciptakan manusia kreatif? Tentu bisa dan harus. Yang mendasar selama ini adalah terkendala pada persoalan komitmen. Komitmen untuk memajukan pendidikan sebagai tanggung jawab bersama. Tentu kita bisa melihat karya anak-anak bangsa yang sudah terpublikasikan. Itu adalah bukti nyata bahwa kreatifitas bisa hadir dimana saja, sepanjang proses belajar diarahkan untuk memanusiakan manusia (To be Human). Memanusiakan manusia dalam artian ada penghargaan terhadap potensi yang berbeda. Proses selanjutnya diarahkan untuk mengembangkan potensi dan minat serta bakat anak.
Bukan pendidikan yang ada saat ini, dimana kecenderungan anak-anak kita diarahkan untuk menguasai aspek kognisi saja. Dibebani dengan PR, tugas-tugas, dan ujian. Anak –anak selalu berada dibawah tekanan, mulai dari Pra Sekolah hingga ke jenjang selanjutnya. Lihat saja kenyataan hari ini, Satuan Pendidikan dan jenjang Pendidikan mana yang tidak menjejali anak dengan tugas dan ujian? Ujian yang digeneralisir tanpa melihat berbagai aspek dan faktor yang mempengaruhinya.
Pada dasarnya Satuan Pendidikan mestinya mengambil peran sebagai inisiator dan fasilitator pendidikan. Inisiator untuk tumbuh kembangnya potensi. Potensi yang sudah semestinya dijaga dan ditumbuhkembangkan sebagai asset masa depan. Untuk menjaga tumbuh dan berkembangnya potensi-potensi inilah maka Satuan Pendidikan hadir. Sepanjang Satuan Pendidikan bisa menghilangkan kekakuan proses belajar dan lebih fokus untuk memberi ruang bagi anak untuk mengeksplorasi segenap potensi yang dimilikinya, yakin dan percaya kreatifitas akan muncul.
Kreatifitas beragam dari anak inilah yang perlu untuk diapresiasi. Apresiasi akan keberanian untuk menunjukkan identitasnya yang berbeda. Bukan lagi pada persoalan benar dan salah, kurang atau belum sempurna, tidak jadi soal. Yang terpenting, anak melalui tiap fase tanpa tekanan, intimidasi dan target yang muluk-muluk. Berilah mereka kesempatan untuk unjuk potensi dan kreatifitas. Lambat laun ada proses belajar dari kekurangannya, biarlah imajinasi anak bebas mengembara. Bukankah lampu bohlam hadir setelah melewati ratusan bahkan ribuan kali percobaan oleh Thomas Alfa Edison?
Andai terlahir sebagai anak Finlandia, betapa menyenangkannya…
Di Finlandia, anak-anak diberi kesempatan seluas-luasnya untuk mengembangkan segenap potensi yang dimiliknya. Pemerintah menjamin dan memastikan setiap anak mendapat perlakuan yang sama dalam memperoleh pendidikan. Lalu, apa yang berbeda dari pendidikan di Finlandia dengan Pendidikan di Indonesia? Haruskah anak Indonesia berganti kewarganegaraan? Hahaha, tidak perlu.
Cukup kita belajar dari pengalaman dan pendekatan pendidikan yang dilakukan disana. Berikut beberapa poin yang sangat menggelitik saya sehingga tulisan ini hadir.
Konsep pendidikan di Finlandia “Test less, Learn more”.
Kunci kesuksesan pendidikan di Finlandia adalah keseriusan pemerintah pada sektor pendidikan lebih besar dibandingkan sektor lainnya. Di Finlandia guru tidak hanya sebatas pengajar tapi mereka pakar kurikulum. Kurikulum di Finlandia sangat berbeda di setiap sekolah, namun tetap berjalan dibawah panduan resmi pemerintah. Guru-guru di Finlandia adalah lulusan terbaik di berbagai universitas dengan ijazah minimal magister/S2.
Jika di negara-negaja maju memberlakukan “standardized test” untuk mengukur kemajuan siswa di sekolah, Finlandia tidak melakukan hal yang sama. Bagi mereka kemampuan murid tidaklah sama, jadi melakukan tes baku untuk semua murid sama sekali tidak menghasilkan mutu pendidikan yang baik. Tidak heran prinsip pendidikan di Finlandia adalah “kurangi tes, perbanyak belajar”.
“No competition”, pendidikan di Finlandia tidak mengajarkan siswa untuk menjadi siapa yang terpandai, namun lebih menekankan bagaimana membentuk “Community” yaitu mengabungkan guru sebagai pendidik, siswa sebagai anak didik, dan masyarakat sebagai bagian dari pendidikan, sehingga kolaborasi ini yang membuat pendidikan lebih unggul, karena semua merasa bertanggung jawab akan proses pendidikan.
Hal menarik lainnya, mayoritas sekolah di Finlandia tidak “menjual” nama. Intinya, mutu seluruh sekolah di Finlandia adalah sama, jadi tidak ada istilah membedakan apalagi diskriminasi. Orang tua dapat dengan mudah memilih sekolah mana saja untuk anaknya tanpa harus ragu akan kualitas sekolah tersebut. Yang membedakan hanya pada 2 hal yaitu: setiap sekolah memiliki pelajaran bahasa asing yang berbeda dan olahraga khusus. Sehingga para orang tua dapat memilih bahasa asing dan olahraga terbaik bagi anak mereka.
Pendidikan di Finlandia tidak membebankan siswa melakukan banyak tugas. Jika dibandingkan dengan Amerika yang membebankan siswa melakukan “Homework” selama 2-3 jam/hari, maka Finlandia hanya memberlakukan maksimum 30 menit/hari. Guru di Finlandia lebih mengedepankan proses pembelajaran, dimana siswa dapat menyerap apa yang dipelajari di kelas ketimbang apa yang mereka dapat lakukan diluar kelas. Bahkan didalam 1 kelas terdapat 2 guru untuk memberikan hak belajar yang sama pada setiap siswa.“Homework doesn’t make You Smart”.
Pendidikan yang baik tidak terletak pada hasil yang baik, terkadang “Standardized Test” hanya sebagai patokan namun bukan landasan. Bayangkan berapa milyar yang harus dikeluarkan setiap tahun untuk membuat soal ujian, namun berapa milyar individu yang bermutu? Apakah setiap siswa memiliki kemampuan yang sama untuk melakukan tes yang sama?
Logikanya, ketika melakukan “medical check up” tidak perlu menyedot seluruh darah yang ada di badan untuk mengetahui penyakit apa yang diidap. cukup Beberapa tetesan saja. Dalam lingkup pendidikan, tidak perlu mengetes seluruh siswa tapi cukup dengan“Randomized Sample” untuk mewakili, namun dengan prosedur dan sistem yang valid.
Berpikir cerdas, bekerja keras, tuntas dan ikhlas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar