Kamis, 15 Januari 2015

Belajar Dari Bang Nana


Pagi tadi saya mengantar istri saya ke pasar, disana saya mendapati seorang buruh pasar, Bang Nana namanya. Dari kejauhan saya mengamati pekerjaanya. Bang Nana ini terlihat cekatan membantu para pedagang yang membutuhkan bantuannya, misalnya memindahkan barang dagangan dari satu tempat ke tempat lainnya, "ngupasin" kulit sayur mayur, membersihkan sampah bekas dagangan, dan pekerjaan lainnya yang sepertinya sudah sangat ia pahami. Saya kagum dengan begitu cekatannya lelaki yang usianya tidak muda lagi ini, dan dari pekerjaannya tersebut Bang Nana mendapat recehan, misalnya dari satu pedagang ada yang ngasih 5000, 10.000 bahkan saya sempat melihat ada yang cuma ngasih 3000an. Dan pulangnya, biasanya sekitar jam dua siang, kadang Bang Nana membawa sisa-sisa dagangan yang oleh para pedagang dikasihkan ke dirinya. Sangat menarik mengamati pekerjaan lelaki ini...

Dari apa yang saya lihat tentang pekerjaan buruh pasar yang dilakukan oleh Bang Nana, ada pelajaran menarik yang saya anggap sebagai kuliah umum gratis tapi sangat bermanfaat.

 

Pertama, adalah kerja keras. Untuk mendapatkan penghasilan itu perlu kerja keras, tak ada penghasilan yang bisa diperoleh dengan berleha-leha. Kerja keras yang maksimal tentu akan mendapatkan hasil yang maksimla pula. Itulah yang saya lihat dari apa yang dilakukan oleh Bang Nana tersebut, sekalipun yang ia dapatkan dari para pedagang cuma recehan tapi ketika dihitung terhnyata hasilnya lumayan, bisa mencapai 50 s.d 80 000-an, itu nominal yang menurut saya lumayan besar, terlebih jika dibandingkan dengan nominal gaji guru honorer.

Kedua, adalah mau melakukan pekerjaan yang mungkin menurut orang lain itu hina. Bahwa pada akhirnya kita harus mengakui, tidak ada pekerjaan yang hina selagi tidak bertentangan dengan norma dan agama. Orang boleh bekerja apa saja sesuai dengan kemampuannya, dan satu hal yang meluruskan hati saya, bahwa pekerjaan hanyalah sebuah proses untuk mendapatkan hasil (nominal).  Mau jadi karyawan, petani, buruh, guru dan lain sebagainya toh itu hanyalah jalan untuk menjemput rizki masing-masing, sebab yang memberi rizi adalah Allah SWT, dan kewajibak kita hanyalah berikhtiar. Karenanya, kita tidak boleh untuk memarjinalkan jenis pekerjaan orang lain, boleh jadi pekerjaan yang terlihat hina dina ternyata penghasilannya lebih besar dari pekerjaan yang terlihat ekslusif.

Ketiga,  tidak cepat menyerah pada nasib. Bang Nana tidak cepat menyerah pada nasib, dengan pekerjaan yang ia lakukan ia sudah membuktikan bahwa dirinya tidak begitu saja menyerah pada nasib. Ini yang terpenting bagi saya. Sebab ada banyak orang yang begitu cepat prustasi lantaran merasa gagal dengan usaha yang sudah ia lakukan. Padahal boleh jadi usaha yang sudah dilakukan belum maksimal. Ada begitu banyak rekan-rekan Guru honorer atau guru di sekolah swasta yang mengeluh lantaran kecilnya gaji, tapi mereka cuma mengeluh tanpa mencoba bangkit untuk mencari solusi mengatasi kecilnya gaji tersebut. Padahal kalau mereka mau berusaha, bangkit dari keterpurukan gaji guru honorernya bisa jadi mereka tidak akan legi mengeluh lantaran penghasilannya ternyata banyak dari sumber lain.

Akhirnya saya boleh menyimmpulkan, bahwa untuk mendapatkan sesuatu itu perlu kerja keras, mau melakuka pekerjaan apapun sejauh pekerjaan tersebut halal, dan ketiga tidak cepat menyerah. Itu sederhananya, walau faktanya kita juga belajar mencari ide usaha, belajar merelaisasikan ide dengan melakukan perencanaan usaha, mencari modal, membayar ongkos produksi, marketing dan lain sebagainya. Tapi ketika terpuruk dengan kecilnya gaji kenapa kita tidak "turun gunung" dengan melakukan berbagai jenis usaha, walaupun mungkin usaha tersebut terlihat hina dibanding tingginya status sosial guru.

Dan pada saat terhimpit dengan desakan kebutuhan hidup, marilah kita lupakan segala macam atribut yang membuat niat untuk memperbaiki kehidupan jadi terhambat. Guru adalah atribut yang kadang cuma tinggi dalam status sosial, tetapi rendah dalam hal pendapatan, ini realita saja, relaita bagi kita yang menyandang sebutan guru honorer. Maka berbahagialah dengan atribut dan tingginya status sosial tersebut tetapi jangan lupakan kewajiban kita terhadap hak ekonomi keluarga kita. Untuk itu berusahalah dengan segala kemampuan dan kecerdasan yang dimiliki demi memperbaiki derajat hidup sebagai guru honorer, sampai pada saat dimana anda bangga dengan status guru honorer tetapi penghasilan eksekutif...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar