Minggu, 18 Januari 2015

Biografi Menteri: Anies Baswedan

Biografi Menteri: Anies Baswedan

Inilah Anies Baswedan yang kini menjabat sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Dasar dan Menenngah dalam Kabinet Kerja-nya Jokowi. Ia lahir di Kuningan, Jawa Barat, pada 7 Mei 1969. Sejak kecil, namanya sudah besar sebagai cucu dari pejuang nasional Abdurrahman Baswedan, seorang jurnalis dan diplomat yang pernah menjabat sebagai Wakil Menteri Penerangan RI. Kedua orang tuanya ‘pun berasal dari kalangan akademis: ayahnya, Drs. Rasyid Baswedan, merupakan dosen di Fakultas Ekonomi Universitas Islam Indonesia dan ibunya, Prof. Dr. Aliyah Rasyid, M.Pd. merupakan guru besar di Fakultas Ilmu Sosial dan Ekonomi Universitas Negeri Yogyakarta. Sehingga, tak heran jika Anies tumbuh sebagai generasi cerdas dan berpendidikan, juga kelak peduli akan pendidikan dan menjadi menteri di bidang pendidikan.
Masa sekolahnya dilalui di TK Masjid Syuhada, SD Laboratori Yogyakarta, SMP Negeri 5 Yogyakarta, dan SMA Negeri 2 Yogyakarta. Saat SMA, Anies aktif berorganisasi hingga terpilih menjadi Wakil Ketua OSIS, dan mengikuti pelatihan kepemimpinan bersama tiga ratus orang Ketua OSIS se-Indonesia hingga terpilih menjadi Ketua OSIS se-Indonesia pada tahun 1985.
Dua tahun kemudian, pada 1987, Anies terpilih untuk mengikuti program pertukaran pelajar AFS dan tinggal selama setahun di Milwaukee, Amerika Serikat. Program ini membuatnya menempuh masa SMA selama empat tahun dan baru lulus pada tahun 1989.
Sekembalinya ke Yogyakarta, Anies mendapat kesempatan berperan di bidang jurnalistik. Ia bergabung dengan program Tanah Merdeka di Televisi Republik Indonesia (TVRI) cabang Yogyakarta, dan mendapat peran sebagai pewawancara tetap tokoh-tokoh nasional. Di sanalah ia menggali pengalaman dari tokoh-tokoh nasional.
Anies kemudian melanjutkan kuliah di Fakultas Ekonomi UGM. Di sana, ia tetap aktif berorganisasi dengan bergabung bersama Himpunan Mahasiswa Islam dan menjadi salah satu anggota Majelis Penyelamat Organisasi HMI UGM. Adapun di fakultasnya,, Anies menjabat sebagai Ketua Senat Mahasiswa dan ikut membidani kelahiran kembali Senat Mahasiswa UGM setelah pembekuan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dan ia ‘pun terpilih menjadi Ketua Senat Universitas pada kongres tahun 1992 dan membuat beberapa gebrakan, diantaranya: membentuk Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) sebagai lembaga eksekutif dan memposisikan senat sebagai lembaga legislatif yang disahkan oleh kongres pada tahun 1993.
Pada tahun 1993, Anies mendapat beasiswa dari untuk JAL Foundation untuk mengikuti kuliah musim panas di Sophia University, Tokyo dalam bidang kajian Asia. Beasiswa ini ia dapatkan setelah memenangkan sebuah lomba menulis mengenai lingkungan.
Setelah lulus kuliah, Anies bekerja di Pusat Antar Universitas Studi Ekonomi UGM, sebelum mendapat Beasiswa Fullbright dari AMINEF untuk melanjutkan kuliah masternya dalam bidang keamanan internasional dan kebijakan ekonomi di School of Public Affairs, University of Maryland, Collage Park pada tahun 1997. Ia juga dianugerahi William P. Cole III Fellow di universitasnya, dan lulus pada bulan Desember 1998.
Sesaat setelah lulus dari Maryland, Anies kembali mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan kuliahnya dalam bidang ilmu politik di Northern Illinois University pada tahun 1999. Dia bekerja sebagai asisten peneliti di Office of Research, Evaluation, and Policy Studies di kampusnya, dan meraih beasiswa Gerald S. Maryanov Fellow, penghargaan yang hanya diberikan kepada mahasiswa NIU yang berprestasi dalam bidang ilmu politik pada tahun 2004. Disertasi doktoralnya yang berjudul Regional Autonomy and Patterns of Democracy in Indonesia menginvestigasi efek dari kebijakan desentralisasi terhadap daya respon dan transparansi pemerintah daerah serta partisipasi publik, menggunakan data survei dari 177 kabupaten/kota di Indonesia. Dia lulus pada tahun 2005.
Dalam berbagai kesempatan, Anies Baswedan selalu mengatakan ada tiga hal yang ia jadikan pedoman dalam memilih karier: Apakah secara intelektual dapat tumbuh? Apakah masih dapat menjalankan tanggung jawabnya sebagai kepala keluarga? Apakah mempunyai pengaruh sosial? Dengan modal tiga prinsip itu, ia memulai karir dengan bergabung pada Kemitraan untuk Reformasi Tata Kelola Pemerintahan, sebuah lembaga non-profit yang berfokus pada reformasi birokrasi di beragam wilayah di Indonesia dengan menekankan kerjasama antara pemerintah dengan sektor sipil. Hal ini tentu saja tak lepas dari kepeduliannya terhadap demokrasi, otonomi daerah dan desentralisasi seperti tertuang dalam disertasi dan artikel-artikelnya di beragam jurnal dan media. Ia kemudian menjadi Direktur Riset The Indonesian Institute. Ini merupakan lembaga penelitian kebijakan publik yang didirikan pada Oktober 2004 oleh aktivis dan intelektual muda yang dinamis. Kariernya di The Indonesian Institute tentu tak lepas dari latar belakang pendidikannya di bidang kebijakan publik.
Pada 15 Mei 2007, Anies Baswedan menemui momen penting dalam kariernya. Ia dilantik menjadi Rektor Universitas Paramadina menggantikan posisi yang dulu ditempati oleh cendekiawan Muslim terkemuka, Nurcholish Madjid (Cak Nur). Ia juga menjadi Rektor Termuda di Indonesia, dimana saat itu usianya baru menginjak 38 tahun. Salah satu kesuksesan Anies di Paramadina adalah strategi mencanangkan Paramadina Fellowship atau Beasiswa Paramadina yang meliputi biaya kuliah, buku, dan biaya hidup. Paramadina Fellowship adalah perwujudan idealisme dengan bahasa bisnis. Hal ini dilakukan karena kesadaran bahwa dunia pendidikan dan bisnis memiliki pendekatan yang berbeda. Untuk mewujudkan itu Anies mengadopsi konsep penamaan mahasiswa yang sudah lulus seperti yang biasa digunakan di banyak Universitas di Amerika Utara dan Eropa. Caranya, titel seorang lulusan universitas tersebut mencantumkan nama sponsornya. Strategi ini sukses hingga membuat 25% dari sekitar 2000 mahasiswa Universitas Paramadina berasal dari beasiswa ini. Di sana ia juga menekankan tentang pentingnya pendidikan anti-korupsi.
Saat menjadi Rektor Paramadina, Anies juga menggagas Gerakan Indonesia Mengajar. Gagasan ini terinspirasi dari mantan rektor UGM periode 1986-1990: Prof. Dr. Koesnadi Hardjasoemantri (Pak Koes). Pada tahun 1950an, Pak Koes menginisiasi sebuah program bernama Pengerahan Tenaga Mahasiswa (PTM), yakni sebuah program untuk mengisi kekurangan guru SMA di daerah, khususnya di luar Jawa. Dalam beberapa kasus, PTM ini justru mendirikan SMA baru dan pertama di sebuah kota kabupaten. Kisah penuh nilai dari PTM inilah salah satu sumber inspirasi bagi Indonesia Mengajar. Indonesia Mengajar kemudian menjadi organisasi populer yang menyediakan tenaga pengajar di daerah-daerah terpencil dari sarjana muda yang yang mengabdi secara tulus sebagai guru selama setahun.
Pada 2010, Anies sempat tergabung dalam Tim Verifikasi Fakta dan Hukum atau dikenal dengan Tim 8 untuk meneliti kasus dugaan kriminalisasi terhadap Bibit -Chandra. Nama kedua pemimpin Komisi ini ramai dikaitkan dalam perseteruan Kepolisian versus KPK – yang populer dengan sebutan “Cicak versus Buaya” – ketika itu. Selain itu, dalam kegiatan melawan korupsi, pada Februari 2013, Anies diminta oleh KPK untuk memimpin Komite Etik KPK . Tugas Komite ini adalah memeriksa ihwal bocornya surat perintah penyidikan (sprindik) kasus korupsi proyek Hambalang atas nama tersangka Anas Urbaningrum.
Setelah bertahun-tahun bergelut dalam gerakan sosial, Anies kemudian terpanggil untuk memasuki dunia politik. Ia diundang untuk terlibat mengurus negeri dengan mengikuti konvensi Demokrat pada 27 Agustus 2013. Anies menerima undangan tersebut dengan ikhtiar untuk ikut melunasi Janji Kemerdekaan. Bagi Anies, apa yang tercantum di Pembukaan UUD 1945 bukan sebuah cita-cita melainkan sebuah janji yang harus dilunasi. “Janji itu adalah melindungi, menyejahterakan, mencerdaskan, dan membuat keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia,” ujarnya. Namun, konstelasi politik dan hasil pemilu menjadikan Demokrat mustahil mengajukan capres.
Anies juga sempat mendirikan Gerakan Turun Tangan sebagai sebuah ikhtiar mengajak semua orang terlibat melunasi janji kemerdekaan. TurunTangan mengajak semua orang untuk ikut terlibat mengurus negeri ini dengan mendorong orang baik mengelola pemerintahan. Gerakan ini didirikan Anies pada Agustus 2013 dengan semangat gerakan kerelawanan tanpa bayaran. Sampai Juli 2014, relawan yang berhasil dikumpulkan sebanyak 35.000 lebih relawan.
Komitmen Anies untuk ikut turun tangan itu ikut mendorongnya membantu pasangan capres-cawapres Jokowi-JK dalam pilpres 2014. Anies membantu pasangan nomor urut dua dalam Pilpres 2014 ini dengan menjadi Juru Bicara Jokowi-JK.
Jokowi mengungkapkan bahwa kehadiran Anies sangat penting dalam tim pemenangannya. Oleh sebab itu ia meminta bantuan Anies untuk bergabung dengan timnya. Bagi Jokowi, Anies adalah sosok muda yang inspiratif dan dekat dengan kaum muda. Karena alasan tersebut Mantan Walikota Solo ini meminta Anies untuk membantu dirinya dan JK dengan menjadi Juru Bicaranya.
Anies sendiri menyatakan alasannya mendukung Jokowi-JK dengan berperan menjadi juru bicara pasangan tersebut dengan menginformasikan keputusannya pada ribuan relawan pendukungnya. Anies menginformasikan pilihannya mendukung Jokowi-JK dengan mengirimkan sebuah e-mail berjudul “Pilihan Saya”. Dalam email tersebut Anies menyatakan bahwa pasangan Jokowi-JK yang paling mungkin menghadirkan terobosan. Baginya Jokowi adalah sosok muda yang bisa melakukan terobosan. Sementara itu JK ia kenal sebagai tokoh senior yang memiliki rekam jejak terobosan dalam karya-karyanya.
Setelah pasangan Jokowi-JK dinyatakan menang pada 22 Juli 2014, pasangan Jokowi-JK meminta Anies untuk menjadi salah satu staf deputi Rumah Transisi Jokowi-JK. Rumah transisi tersebut ditujukan untuk menyiapkan kabinet sebelum pengangkatan resmi Jokowi-JK sebagai capres dan cawapres.
Akhirnya, sepak terjang Anies di bidang pendidikan membuatnya diberi amanat menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Dasar dan Menengah di Kabinet Kerja Jokowi-JK periode 2014-2019. Anies merupakan salah satu menteri yang datang dari kalangan profesional di Kabinet Kerja. Salah satu terbosan yang telah ditorehkannya adalah membatalkan dan mengoreksi kembali Kurikulum 2013 dan juga tak menjadikan UN sebagai patokan utama kelulusan. Dua kebijakan itu disambut baik oleh publik. Kini, ia terus bekerja untuk memenuhi janjinya, yakni komitmen memenuhi Janji Kemerdekaan RI.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar