Minggu, 18 Januari 2015

Meneladani Seorang Hoegeng


Presiden RI ke-4, KH Abdurrahman Wahid, pernah melontarkan lelucon di satu kesempatan: “Di Indonesia, hanya ada tiga polisi yang tak mempan disogok: polisi tidur, patung  polisi, dan Hoegeng!”. Keteladanan Hoegeng sulit ditemukan di masa kini. 

BARANGKALI tak banyak orang Indonesia yang mengenal sosok (alm.) Jenderal Purn. Polri Hoegeng Imam Santoso. Pria kelahiran Pekalongan, 14 Oktober 1921, itu adalah pemegang tongkat komando tertinggi di instansi kepolisian Negara pada 1968. Jabatannya saat itu sungguh mentereng, Kepala Kepolisian Negara, yang belakangan pada 5 Mei 1969 istilah tersebut diubah menjadi Kepala Kepolisian Nasional Republik Indonesia (Kapolri).
Popularitas Hoegeng saat itu merupakan akumulasi dari kombinasi sifat, sikap, gaya kepemimpinan, pola hidup sederhana, antisogok, dan ketegasan dalam bertindak.
Sebelum menjabat Kapolri, Hoegeng pernah bertugas sebagai Kepala Bagian Reserse Kriminil Kantor Polisi Sumatera Utara (1956) di Medan, staf Direktorat II Mabes Kepolisian Negara (1960), Kepala Jawatan Imigrasi (1960).
Pada 1965, Hoegeng diangkat Presiden Soekarno sebagai Menteri Iuran Negara dalam Kabinet 100 Menteri. Pada 1966, Hoegeng kembali ke kesatuannya dan diserahi tanggung jawab sebagai Deputi Men/Pangak Urusan Operasi. Pada tahun yang sama, Hoengeng kembali dipercaya Presiden Soekarno menduduki posisi Menteri Sekretaris Kabinet Inti.
Era kepemimpinan Hoegeng ditandai oleh sejumlah kebijakan mendasar di internal Polri. Ia berusaha melakukan perubahan di lingkungan tempat kerjanya agar benar-benar bersih. Sebut saja, antara lain, Hoegeng merestrukturisasi organisasi di tingkat Mabes Polri, sehingga dinamis dan komunikatif. Berdasarkan Keppres No.52 Tahun 1969, istilah Panglima Angkatan Kepolisian RI (Pangak) diubah menjadi Kapolri.
Nama markas besar kepolisian ikut diubah menjadi Markas Besar Kepolisian (Mabak). Efek turunannya, nama instansi di bawah Kapolri pun berubah. Misalnya, Panglima Daerah Kepolisian (Pangdak) menjadi Kepala Daerah Kepolisian RI atau Kadapol. Istilah Seskoak menjadi Seskopol.
Tak berhenti sampai di situ. Hoegeng mengangkat citra dan eksistensi  Polri di peta organisasi polisi internasional, dengan mengaktifkan International Criminal Police Organization (ICPO), yang disimbolisir oleh penetapan  Jakarta sebagai Sekretariat National Central Bureau (NCB) Interpol.
Dua kasus besar
Semasa menjabat Kapolri, ada dua kasus besar menggemparkan masyarakat, yang ditangani oleh Hoegeng. Pertama, kasus Sum Kuning, menunjuk seorang perempuan muda penjual jamu gendong, bernama Sumarijem yang menjadi korban tindak perkosaan. Diduga para pelakunya adalah anak-anak pejabat daerah Yogyakarta.
Ironisnya, Sum malah ditahan oleh polisi dengan tuduhan membuat keterangan palsu. Sum bahkan dituduh terlibat kegiatan ilegal PKI. Nuansa rekayasa semakin terang ketika persidangan digelar tertutup. Wartawan yg menulis kasus Sum harus berurusan dengan Dandim 096.
Hoegeng dikenal gigih untuk menguak kasus Sum Kuning yang (konon) melibatkan sejumlah anak pejabat tinggi militer.
Kedua, kasus penyelundupan mobil-mobil mewah bernilai milyaran rupiah di Pelabuhan Tanjung Priok, dengan pelaku utama Robby Tjahjadi. Berkat jaminan dari pejabat negara, Robby hanya beberapa jam mendekam di sel tahanan Komdak. Kejaksaan Jakarta Raya pun memetieskan kasus itu. Hoegeng tak gentar.
Melalui modus operandi yang canggih, Robby Tjahyadi, yang hanya jebolan SMA, berhasil menyelundupkan 228 mobil mewah ke Indonesia. Diketahui, sebelumnya sekitar 3.000 mobil mewah lainnya sudah diselundupkan ke Indonesia.
Ia terus mengincar konglomerat tekstil di Indonesia yang juga penyelundup mobil mewah kelas kakap tersebut. Robby kena batunya. Ia ditangkap saat menyelundupkan lagi mobil-mobil mewah ke Indonesia. Hoegeng tak mau tanggung, dia bongkar habis sindikat penyelundupan mobil mewah itu. Bukan hanya si pengusaha yang dibekuk, sejumlah pejabat instansi penegak hukum yang terbukti menerima sogokan turut ditahan. Konon, kasus itu ternyata melibatkan sejumlah perwira tinggi ABRI.
Kasus penyelundupan yang dibongkar Hoegeng itu menggemparkan tanah air saat itu. Betapa tidak, meskipun pelaku utama penyelundupan itu hanya tiga orang, tetapi penyelundupan itu sendiri melibatkan puluhan pejabat tinggi di Bea Cukai dan Kepolisian. Setelah kasus ini disidangkan di pengadilan yang melibatkan 27 orang saksi, Robby dihukum 10 tahun.
Di salah satu buku yang mengangkat biografi hidupnya, penganjur dan peletak peraturan wajib helm bagi pengendara kendaraan bermotor itu mengemukakan prinsip yang dipegangnya dalam mengemban tugas, “Kita tidak gentar menghadapi orang-orang gedesiapa pun. Kita hanya takut kepada Tuhan Yang Mahaesa. Jadi, walaupun keluarga sendiri, kalau salah tetap kita tindak!”
Secara tiba-tiba, Presiden Soeharto mengeluarkan SK penugasan Hoegeng sebagai Duta Besar RI untuk Kerajaan Belgia, pada 2 Oktober 1971.
Alasan Soeharto kepada Hoegeng, regenerasi. Tapi, anehnya, Komisaris Jenderal Polisi Drs. Moh. Hasan –sang pengganti Hoegeng-- adalah seniornya yang notabene berusia lebih tua darinya. Hoegeng dipensiunkan oleh Presiden Soeharto pada usia 49 tahun, di saat ia sedang gencar-gencarnya melakukan pembersihan di internal jajaran kepolisian.
Banyak spekulasi berkembang saat itu, pencopotan jabatan itu terkait dengan gebrakannya membongkar sindikat penyelundupan mobil-mobil mewah tersebut. Tanda tanya pun merebak luas mengingat masa jabatannya sebagai Kapolri saat itu belum habis.
 Atas tawaran posisi Dubes di Negara Eropa itu, ditolak secara halus oleh Hoegeng. Alasannya, karena ia seorang polisi dan bukan politisi.
Setelah Pak Hoegeng berbicara dengan atasannya, Menhankam Panggabean, ia menghadap Presiden Soeharto untuk membicarakan tawaran itu. “Lho, bagaimana Mas, mengenai soal Dubes itu?” tanya Pak Harto. “Saya tidak bersedia jadi Dubes, Pak,” jawab Hoegeng. “Tapi tugas apapun di Indonesia akan saya terima,” lanjutnya.
Pak Harto menjawab lagi, “Di Indonesia tidak ada lowongan lagi, Mas Hoegeng”. Hoegeng pun langsung nyeletuk, “Kalau begitu, saya keluar saja”. Mendengar itu Pak Harto terdiam, Hoegeng juga diam.

Simbol kejujuran
Hoegeng berkuliah di Recht Hoge School (Sekolah Tinggi Hukum) pada 1940 dalam usia 19 tahun. Sekolah inilah yang kemudian mengantarkannya pada profesi kepolisian.
Pria yg pernah dinobatkan sebagai “The Man of the Year 1970” ini adalah sosok polisi yang terkenal jujur, hidup bersahaja, dan sangat anti-KKN. Hoegeng adalah simbol kejujuran dan keteladanan, bukan hanya bagi jajaran kepolisian di negeri ini, tetapi juga bagi seluruh lapisan masyarakat.
Ramadhan KH, penulis buku biografi Hoegeng, Polisi: Idaman dan Kenyataan (1994) menuturkan kesannya saat mewawancarai Hoegeng.
“Dari wawancara pertama kali yang saya hadiri, saya sudah bisa menangkap bahwa Pak Hoegeng adalah tokoh yang polos, yang bicara jujur, tetapi yang bersikap tidak mau menyinggung hati orang lain selain mengenai bajingan, penyuap, koruptor, penyelundup, penjahat kriminal yang keterlaluan,” kata Ramadhan.
“Kalau bicara keras begitu pun, ia cerita singkat-singkat saja. Ia tidak menonjolkan diri sebagai pahlawan atau hero. Ia simpan di dalam hatinya—atau mungkin malahan tidak merasa sama sekali—perasaan atau sikap kepahlawanan. Ia anggap hidup jujur dan menjauhi atau menolak suap itu sebagai hal yang sudah seharusnya.  Bahwasanya ia telah menyumbangkan tenaga dan pikirannya pada kemerdekaan Republik kita ini, itu pun ia ceritakan dengan sikap yang jauh dari sombong. Namun, keteguhan dalam memegang kebenaran menurut keyakinannya itu, seperti baja yang tidak bisa dipatahkan.”
Kepada Ramadhan, Hoegeng menggarisbawahi, “Menjadi pejabat, apalagi penegak hukum, memang banyak tantangan dan godaan. Banyak pejabat yang kaya raya hanya karena tak tahan godaan disuap, dan membuat pleidoi bahwa kekayaannya itu didapat karena persahabatan”.
Pada 1965, Hoegeng ditugaskan sebagai Kadit Reskrim Kantor Polisi Sumatera Utara—suatu wilayah yang sering disebut test case terberat di Indonesia. Sebutan itu terbukti betul. Begitu tiba di tempat tugasnya, Hoegeng harus menerima ucapan selamat datang yang unik. Ia menemukan rumah dinasnya penuh dengan barang-barang luks, kiriman seorang pengusaha Cina yang mengaku sebagai ‘Ketua Panitia Selamat Datang’.
Tentu saja Hoegeng menolak sambutan unik itu. Namun, Cina tukang suap itu ternyata memang badung. Akhirnya, karena sampai batas waktu yang ditetapkan barang-barang tersebut belum juga dikeluarkan, Hoegeng memerintahkan anak buahnya mengeluarkan barang-barang luks secara paksa. “Saya rasa perkenalan pertama itu memang mendebarkan,” aku Hoegeng.

Masa pensiun yang memprihatinkan
Mungkin dibayangkan banyak orang, sebagai mantan orang pertama di tubuh Polri, masa pensiun Hoegeng identik dengan kenyamanan dan kemewahan. Punya rumah dengan segala peralatan serbaluks serta kendaraan mewah. Asumsi itu salah besar. Setelah dicopot oleh Presiden Soeharto, dia menolak di-dubes-kan. Hidup hanya dari pensiun, tanpa punya rumah dan mobil pribadi.
Hoegeng justru hidup dari uang pensiun, tak punya rumah, tanah, dan mobil pribadi. Karenanya, ia sering berpindah-pindah rumah kontrakan.
Pernah dituturkannya sekali waktu, setelah berhenti dari Kepolri dan pensiunnya masih diproses, suatu waktu dia tidak tahu apa yang masih bisa dimakan oleh istri dan anak-anaknya, karena di rumahnya stok beras sudah habis.
Memasuki masa pensiun, Hoegeng menghabiskan waktu dengan menekuni hobinya sejak remaja, yakni bermain musik Hawaiian dan melukis. Lukisan itu lah yang kemudian menjadi sumber Hoegeng untuk membiayai keluarga. Sekadar informasi, gaji pensiunan Hoegeng sampai tahun 2001 hanya sebesar Rp 10.000,-. Itu pun diterima sebesar Rp 7.500,- saja. Baru pada 2001, gaji pension Hoegeng berubah dari Rp 10.000,- menjadi Rp 1.170.000,-.
Hoegeng memang seorang berpendirian teguh dan konsisten. Selama menjadi Kapolri, ia tetap hidup sederhana. Rumahnya tak dijaga oleh pengawal, dan tak ada perabotan mewah di dalamnya.
 Ia mengajarkan pada istri dan anak-anaknya arti disiplin dan kejujuran. Semua anggota keluarga dilarang keras menggunakan berbagai fasilitas yang diterima seorang Kapolri.
Prihatin melihat hidup Hoegeng yang sangat sederhana, akhirnya sejumlah Kapolda (mantan bawahannya) berpatungan untuk membelikannya mobil Kingswood, satu-satunya mobil yang ia miliki. Rumah dinas yang ditempati Hoegeng sampai akhir hayatnya adalah pemberian dari kepolisian. Atas kebaikan Kapolri penggantinya, rumah dinas di kawasan Menteng Jakarta pusat pun menjadi milik keluarga Hoegeng.
Pada 14 Juli 2004, Hoegeng meninggal dunia di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta dalam usia 83 tahun karena penyakit stroke dan jantung yang dideritanya.

Obsesi Hoegeng
Apa saja impian Hoegeng mengenai Polri? Sebagaimana tertuang dalam buku biografinya, Hoegeng  antara lain memimpikan “pemulihan wewenang Polri”.
Ia memimpikan peran kepolisian yang murni. Artinya, polisi tidak termasuk dalam unsur ABRI. Sebagaimana di negara lain, ia bermimpi suatu kali kepolisian langsung di bawah Presiden/Perdana Menteri atau Mendagri.
Ia berpendapat, secara prinsip ada perbedaan antara doktrin polisi dan militer. Yang pertama, tembak dulu, lalu perkaranya urusan belakang—sebab yang dihadapi militer dalam suatu perang jelas musuhnya. Sedang polisi, ‘jangan tembak, tetapi dudukkan perkara dulu’.
Apa yang menjadi impian seorang Hoegeng ternyata telah terwujud kini. Di era reformasi, institusi Polri telah berpisah dengan institusi TNI dalam naungan ABRI. Institusi Polri berada langsung di bawah Presiden.
Lantas, apa kriteria polisi ideal menurut Hoegeng? “Saya harapkan polisi bisa tetap lurus. Saya harapkan generasi muda polisi jujur,” cetus Hoegeng dalam buku HOEGENG, Polisi: Idaman dan Kenyataan (1993).
Pertanyaannya, masih adakah polisi jujur di Indonesia dewasa ini laksana seorang Jenderal Hoegeng Imam Santoso? Akankah guyonan (kritis) Gus Dur, bahwa hanya polisi tidur, patung polisi, dan polisi Hoegeng yang tidak mempan disogok, bertahan dan tak terbantahkan?◄►(Anis/Dirangkum dari berbagai sumber referensi)

 Di Indonesia, hanya ada tiga polisi yang tak mempan disogok: polisi tidur, patung  polisi, dan Hoegeng!. (GUS DUR)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar