Minggu, 11 Januari 2015

Kognitif, Siapakah kamu??? Part 1KOGNITIF SIAPAKAH KAMU BAGIAN 1By Munif Chatib

“Percuma aku sekolahkan anakku di SEKOLAHNYA MANUSIA. Sekolah itu hanya konsentrasi untuk anak-anak yang bermasalah. Sedangkan anakku yang awalnya pandai, akhirnya harus mengikuti arus anak yang lamban. Padahal rencananya selesai lulus aku akan masukkan di SMA Favorit yang ketat sekali seleksinya. Mana mungkin anakku berhasil lulus tes masuk SMA favorit itu jika tidak ada peningkatan nilai hasil try out-nya.”Lalu diskusi cukup panjang terjadi. Terkadang saya harus menjadi orangtua tersebut, terkadang saya harus menjadi guru, juga harus menjadi kepala sekolah dan sekaligus penyelenggara sekolah. Lama sekali saya merenungi apa yang dikuatirkan oleh oranng di atas. Bagi saya, orangtua siswa itu adalah konsumen pendidikan. Harus dihargai pendapatnya. Tepat setelah 4 hari berdiskusi dengan banyak pihak yang berkompeten di bidangnya. Akhirnya saya dapat menyimpulkan pokok masalahnya, yaitu makhluk yang bernama KOGNITIF. Saya harus membuat semacam ‘HEAD LINE’ terhadap pernyataan di atas.

1. Sekolahnya Manusia hanya berkonsentrasi pada anak-anak yang bermasalah.2. Anak pandai akan mengikuti anak yang lamban dalam belajar.3. Keinginan masuk SMA Favorit dengan seleksi ketat.4. Nilai hasil try out.

Ya, ada 4 HEAD LINE. Hasil diskusinya sebagai berikut:Saya melihat banyak orantua yang terjebak menilai kemampuan anaknya hanya dari hasil tes kognitif saja. Hal ini berbahaya, sangat tidak adil pada anak kita. Percayalah kemampuan anak kita seluas samudera. Sekolah inklusi, sekolahnya manusia adalah sekolah yang menghargai kemampuan anak kita yang sangat luas dari berbagai ranah kompetensinya.Sedihnya ketika orangtua bilang:

KOGNITIF DAN MENUJU SEKOLAH INKLUSIDalam perkembangannya semua sekolah di dunia ini menuju ke sekolah inklusi. Sudah banyak contoh di negara-negara yang hebat kualitas pendidikannya, misal Finlandia, Jepang, Korea Selatan, dan lain-lain. Pemahaman dasar dari sekolah inklusi adalah EDUCATION FOR ALL. Tidak membedakan anak bodoh dan pandai, anak reguler dan berkebutuhan khusus. Jika ada sekolah yang memisahkan anak pandai dan bodoh dalam kelas yang lain, menurut Thomar Armstrong Ph. D. adalah patologi (penyakit) pendidikan. Setelah diteliti, ternyata sekolah inklusi menjadi wadah munculnya siswa-siswa yang mempunyai karakter kuat dalam kepedulian pada sesama, saling membantu dan menyadari tentang perbedaan yang ada. Siswa yang lulus dari SEKOLAHNYA MANUSIA melihat masyarakatnya sebagai masyarakat yang heterogen. Insyaallah lulusannya jika menjadi PEMIMPIN akan berbuat adil kepada yang dipimpinnya. Bukankah keadilan itu adalah maqom sebuah kemampuan yang paling tinggi, yang harus dimiliki seseorang? Pasti setiap orangtua menginginkan anaknya menjadi pemimpin yang adil, minimal untuk dirinya sendiri.Lalu bagaimana dengan teman-temannya yang lamban dalam menangkap dan menguasai pelajaran? Dalam prakteknya, siswa-siswa yang pandai akan menjadi tutorial sebaya bagi teman-temannya. Ada orangtua yang kaget ketika nilai tes atau try out anaknya jatuh atau tidak seperti yang diharapkan.

Percayalah kemampuan seseorang itu seluas samudera. Ada psiko-afektif, psiko-motorik dan psiko-kognitif. Kepedulian dan saling membantu antar siswa dalam hal proses belajar bukanlah sebuah dosa. Sebab hal itu mengasah kemampuan psiko-afektif yang sering dianggap tak berguna. Padahal kemampuan psiko-afektif dalam hidup bermasyarakat sangat penting dan menjadi hal utama terkait dengan kesuksesan seseorang.Sungguh sebenarnya tidak ada hubungannya antara hasil tes atau try out ujian yang rendah dengan kondisi kelas yang beragam atau inklusi. Tes atau try-out ujian itu hanya sebagian kecil dari kemampuan psiko-kognitif. Dan dalam kemampuan kognitif, tes standar itu masuk lantai yang paling bawah yaitu lantai pengetahuan. Betapa banyak data yang menggambarkan bahwa hasil try out tidak berbanding lurus dengan hasil ujian nasionalnya.Bersambung …

Tidak ada komentar:

Posting Komentar