Minggu, 18 Januari 2015

Puisi Gus Mus: Selamat Tahun Baru

Puisi Gus Mus

Selamat Tahun Baru

Selamat Tahun Baru, Kawan
Kawan, sudah tahun baru lagi
Belum juga tibakah saatnya kita menunduk, memandang diri sendiri, bercermin firman Tuhan sebelum kita dihisabnya?Kawan, siapakah kita ini sebenarnya? Musliminkah? Mukminin? Muttaqin? Khalifah Allah? Umat Muhammad-kah kita? Khaira ummatin kah kita? Atau kita sama saja dengan makhluk lain? Atau bahkan lebih rendah lagi? Hanya budak-budak perut dan kelamin.
Iman kita kepada Allah dan yang gaib rasanya lebih tipis dari uang kertas ribuan, lebih pipih dari kain rok perempuan.
Betapapun tersiksa, kita khusyuk di depan massa dan tiba-tiba buas dan binal justru di saat sendiri bersama-Nya.
Syahadat kita rasanya seperti perut bedug, atau pernyataan setia pegawai rendahan, kosong tak berdaya.
Shalat kita rasanya lebih buruk dari senam ibu-ibu, lebih cepat dari pada menghirup kopi panas dan lebih ramai daripada lamunan seribu anak muda.
Doa kita sesudahnya justru lebih serius kita memohon hidup enak di dunia dan bahagia di surga.
Puasa kita rasanya sekedar mengubah jadual makan minum dan saat istirahat tanpa menggeser acara buat syahwat.
Ketika datang lapar atau haus; kita ‘pun menggut-manggut: “Oh beginikah rasanya”, dan kita sudah merasa memikirkan saudara-saudara kita yang melarat.
Zakat kita jauh lebih berat terasa dibanding tukang becak melepas penghasilannya untuk kupon undian yang sia-sia..
Kalaupun terkeluarkan harapanpun tanpa ukuran, upaya-upaya Tuhan menggantinya berlipat ganda.
Haji kita tak ubahnya tamasya menghibur diri, mencari pengalaman spiritual dan material. Membuang uang kecil dan dosa besar, lalu pulang membawa label suci asli made in Saudi: Haji.
Kawan, lalu bagaimana, bilamana dan berapa lama kita bersama-Nya?
Atau kita justru sibuk menjalankan tugas mengatur bumi seisinya? Mensiasati dunia sebagai khalifahnya?
Kawan, tak terasa kita semakin pintar.
Mungkin kedudukan kita sebagai khalifah mempercepat proses kematangan kita, paling tidak kita semakin pintar berdalih.
Kita perkosa alam dan lingkungan demi ilmu pengetahuan.
Kita berkelahi demi menegakkan kebenaran.
Melacur dan menipu demi keselamatan.
Memamerkan kekayaan demi mensyukuri kenikmatan
Memukul dan mencaci demi pendidikan.
Berbuat semuanya demi kemerdekaan.
Tidak berbuat apa-apa demi ketentraman.
Membiarkan kemungkaran demi kedamaian.
Pendek kata, demi semua yang baik, halal ‘lah semua sampai ‘pun yang paling tidak baik.
Lalu bagaimana para cendekiawan dan seniman?
Para mubaligh dan kiai penyambung lidah Nabi?
Jangan ganggu mereka.
Para cendekiawan sedang memikirkan segalanya.
Para seniman sedang merenungkan apa saja.
Para muballigh sedang sibuk berteriak kemana-mana.
Para kiai sedang sibuk berfatwa dan berdo’a.
Para pemimpin sedang mengatur semuanya.
Biarkan mereka di atas sana.
Menikmati dan meratapi nasib dan persoalan mereka sendiri.
Kawan, Selamat Tahun Baru!
Belum juga tiba ‘kah saatnya kita menunduk dan memandang diri sendiri?
 (Sumber: abenalsahuri.wordpress.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar