Minggu, 18 Januari 2015

Sejarah Singkat Supriyadi

Sejarah Singkat Supriyadi

Masa penjajahan pemerintah Jepang di Indonesia jika dibandingkan dengan pemerintah kolonial Belanda memang jauh lebih singkat. Jika Belanda menduduki Indonesia kira-kira tiga setengah abad, masa kependudukan Jepang hanya berlangsung sekitar 3 tahun. Namun, penderitaan yang dialami rakyat jauh lebih berat ketika Jepang menguasai Tanah Air. Kondisi sosial ekonomi Indonesia saat itu mengalami kekacauan, bahkan di ambang kehancuran.
Di samping itu, seperti halnya Belanda yang menerapkan sistem kerja paksa yang dikenal dengan istilah Rodi, demikian pula halnya dengan Jepang. Untuk kepentingan mereka, ratusan ribu orang dijadikan romusha (pekerja paksa). Para romusha diperintahkan untuk membuat benteng, jembatan dan jalan.
Para romusha dipekerjakan tanpa memperhitungkan beban kerja. Selain itu, penderitaan para romusha ditambah lagi dengan minimnya persediaan makanan serta kelangkaan obat-obatan sehingga korban jiwa pun berjatuhan. Keprihatinan terhadap kondisi para romusha itu sangat mengusik nurani Supriyadi.
Supriyadi adalah pejuang kelahiran Trenggalek, Jawa Timur, 13 April 1923. Sesudah menamatkan ELS (setingkat Sekolah Dasar), ia melanjutkan pendidikan ke MULO (setingkat Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama), kemudian memasuki Sekolah Pamongpraja di Magelang.
Ketika bala tentara Jepang tiba di Indonesia, ia belum sempat menyelesaikan pendidikannya di Sekolah Pamongpraja. Ia pun berganti haluan dengan memasuki Sekolah Menengah Tinggi dan mengikuti latihan pemuda (Seimendoyo) di Tangerang.
Bersamaan dengan terjadinya perang pasifik ketika itu, maka untuk membantu Jepang melawan sekutu, pemerintahan pendudukan Jepang menyadari pentingnya peran para pemuda pribumi. Untuk tujuan itu, Jepang pun mendirikan sebuah kelompok tentara yang dinamakan PETA (Tentara Pembela Tanah Air) pada bulan Oktober 1943. Tujuannya, untuk memberikan latihan kemiliteran kepada pemuda-pemuda Indonesia dengan maksud, mereka nanti akan dipakai untuk membantu Jepang menahan serbuan Sekutu.
Walau tadinya dimaksudkan untuk membantu pasukan Jepang, namun pada kesempatan itu tokoh-tokoh pergerakan nasional juga berhasil menanamkan jiwa kebangsaan kepada pemuda-pemuda anggota PETA tersebut.
Supriyadi sendiri merupakan salah satu pemuda yang menjadi anggota PETA dan yang kemudian diangkat menjadi Shodanco di daerah Blitar. Ia ditugaskan untuk mengawasi pekerjaan para romusha. Karena pekerjaannya itu, ia sering melihat dengan jelas bagaimana kekejian dan kesewenang-wenangan yang dilakukan tentara Jepang kepada kaum sebangsanya, Indonesia.
Tidak terjaminnya makanan serta kesehatan, menambah penderitaan para romusha sehingga mengakibatkan banyak dari para pekerja paksa itu yang meninggal dunia. Melihat kenyataan memilukan tersebut, hati Supriyadi sangat tersentuh. Sejak itu, di dalam hati Supriyadi timbul niat untuk melakukan perlawanan terhadap Jepang. Dengan beberapa orang temannya, ia pun merencanakan pemberontakan melawan Jepang. Walaupun ia sadar bahwa kekuatan Jepang sangat sulit ditandingi, namun ia tetap bertekad melakukan perlawanan.
Sebelum niat itu terlaksana, dalam suatu kesempatan ketika  Bung Karno berada di Blitar untuk mengunjungi orangtuanya, Supriyadi dan sekelompok perwira lainnya sempat meminta saran  Bung Karno. Ketika itu,  Bung Karno menyarankan agar para perwira itu mempertimbangkan segala kemungkinan. Bung Karno yang menerapkan taktik kerjasama sejak awal kedatangan Jepang mengatakan, bahwa Supriyadi Cs masih terlalu lemah dalam kekuatan militer untuk dapat melancarkan gerakan semacam itu. Namun, dengan jiwa mudanya, Supriyadi yang menjadi pemimpin para perwira itu memiliki keyakinan kuat bahwa aksi pemberontakan mereka itu akan berhasil.
Tanggal 14 Februari 1945 dinihari, pemberontakan pun dilancarkan di Daidan Blitar. Korban jiwa dari pihak tentara Jepang pun berjatuhan. Jepang yang merasa sangat terkejut dengan aksi pemberontakan tersebut mengerahkan kekuatan yang besar untuk menumpas para pemberontak yang juga merupakan anggota-anggota pasukan Peta Blitar. Selain melakukan penangkapan, siasat membujuk beberapa tokoh pemberontak juga dilakukan.
Kurangnya pengalaman serta kekuatan yang tak seimbang, gerakan tersebut dapat diatasi oleh Jepang. Tokoh-tokoh pemberontak yang berhasil ditangkap kemudian diadili di mahkamah militer Jepang. Di antara mereka ada enam orang yang dijatuhi hukuman mati, tiga orang hukuman seumur hidup dan yang lain mendapat ganjaran hukuman bervariasi mulai dari tiga hingga lima belas tahun.
Tapi ketika hendak dieksekusi, Supriyadi sebagai pemimpin gerakan tersebut tidak termasuk dalam nama kelompok yang dieksekusi. Bahkan, pada waktu persidangan pun namanya tidak ikut disebut. Ketika pemerintah RI dengan Maklumat Pemerintah RI pada tanggal 6 Oktober 1945 mengangkat Supriyadi sebagai
Menteri Keamanan Rakyat dalam kabinet RI yang pertama, pemimpin perlawanan PETA itu juga tak muncul. Rupanya setelah berhasil ditangkap Jepang, ia langsung dibunuh. Karena itu pula, sampai saat ini tidak ada yang mengetahui di mana makam Supriyadi berada.
Atas jasa-jasanya pada negara, Supriyadi diberi gelar pahlawan Nasional berdasarkan SK Presiden Republik Indonesia No. 063/TK/Tahun 1975, tanggal 9 Agustus 1975

(Sumber: www.tokohindonesia.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar